Sekali lagi Tuhan menghadapkan saya pada sebuah kondisi sulit dan
berbahaya. Bila di flashback ke belakang sudah tidak terhitung rasanya. Apalagi
setelah sepeninggalnya alm bapak, entah berapa banyak kesulitan itu datang
silih berganti. Ingat betul bagaimana dulu saya harus berjibaku saya berjuang
untuk bisa melanjutkan kuliah hingga akhirnya lulus. Perjalanan kehidupan
nyatanya tidak selalu mulus, penuh kerikil dan bebatuan.
Mencari pekerjaan yang bisa membuat cukup untuk kehidupanku dan membantu
adeku untuk sekolah ternyata cukup berat. Bayangkan saja selama dua tahun saya
harus puas dengan gaji sebesar 1,5 juta saat bekerja di sebuah kantor akuntan
publik. Itu terjadi sekitar tahun 2008-an. Saat itu saya bertahan hanya karena
dapat banyak pengalaman dan beberapa perjalanan ke luar kota yang cukup
membuatku menarik.
Teringat saat itu ada salah satu saudara yang menanyakan kepada ibu, berapa
gajiku. Tanpa beban ibu menjawab seadanya. Ibu dibuat kaget dengan tanggapan
dan respon yang dikatakan oleh saudara sesaat setelah mendengar jawaban ibu.
Dia berkata dengan enteng “Memang masih ada ya gaji segitu di Jakarta sekarang?”.
Mendengar perkataan itu sontak saja membuat ibu merasa sedikit tersinggung.
Setidaknya itu terlihat dari rona wajahnya yang layu. Saya pribadi tidak pernah
menaruh dendam terhadap saudara saya itu. Sekedar sakit hati atas ucapannya pun
tidak. Hanya saja saat melihat roman muka ibu pasrah. Dalam hati saya bertekad
suatu saat nanti akan membuat dia bangga dengan anaknya.
Waktu memang bergulir serasa begitu cepat. Rasanya masih baru kemarin
ucapan itu terngiang ditelingaku. Sekarang saya sudah pada posisi yang cukup
jauh berbeda. Waktu seolah berpihak pada siapa saja yang mau berusaha dan
berjuang tanpa lelah untuk merubah nasib hidupnya.
Adalah suatu sore yang cukup indah, tiba-tiba handphone berdering. Ternyata
saudara saya yang diceritakan itu telepon. Saat itu dia berniat untuk
berkunjung ke kantorku. Singkat cerita akhirnya kita bertemu di kantor.
Ditemani segelas teh hangat yang dibuat oleh OB (office Boy) kantor, kita
ngobrol ngalor-ngidul. Dari cara bicaranya jelas tersimpan rasa penasaran
mengenai jenis pekerjaan dan posisi yang saat ini saya pegang. Memang tidak
nampak muka kaget yang dia perlihatkan. Tapi saya paham betul dari gesture
tubuhnya dan cara dia bicara, seolah dia juga tidak mau kalah. Buatku saat itu
tidak ada istilah menang kalah. Saya hanya sedang menjamu saudara yang ternyata
bertemu di tempat yang cukup jauh dari tanah kelahiranku.
Momentum saat itu buatku bermakna bahwa saya bisa menjadi sesorang yang
bisa “dilihat”. Istilah kerennya from nothing to something. Kehidupan akhirnya
berbicara dengan bahasanya sendiri. Ada bahasa universal yang bisa dipahami dan
berlaku buat siapapun. Teringat pepatah arab “man jadda wa jadda”, siapa yang bersungguh-sungguh, dia yang
berhasil. Pengalaman ini yang telah saya jalani. Di luar sana, lebih banyak
lagi kejadian yang bisa diambil hikmahnya apabila kita mau belajar.
Pemahaman ini menjadi semacam alarm buat diri ini agar tidak jumawa, saat
berada di posisi atas. Tidak memandang remeh dan rendah pada orang yang
posisinya di bawah. Kita tidak pernah tau masa depan nanti. Mungkin saja orang
yang saat itu kita hina, ternyata dikemudian hari menjadi seseorang yang lebih
berhasil dari kita.
Ini soal cerita lain lagi. Nyata yang ada di lingkungan keluarga. Tanpa
bermaksud untuk menceritakan kejelekan atau aib orang. Ini hanya sebatas bahan
refleksi untuk jadi pembelajaran bersama. Saat itu ada saudara saya, sebut saja
Bu De, dia bertanya pada keponakannya yang masih kecil apa cita-citanya nanti. Kebetulan
keponakannya itu terlahir dari keluarga yang lebih sederhana dan dengan tingkat
pendidikan yang kurang. Dengan polos anak kecil itu menjawab ingin menjadi
bidan. Mendengar jawaban anak kecil itu, Bu De menarik bibir ke samping atas
dan berkata “oowh”. Setengah nada tak percaya apalagi bila melihat anaknya
sendiri gagal menjadi perawat karena keburu dinikahin pacarnya. Kehidupan berkata lain, nyatanya setelah
beberapa tahun akhirnya terbukti bahwa anak kecil itu sudah menjadi bidan,
sedangkan anaknya sendiri (anak Bu De), tetap menjadi ibu rumah tangga (mohon
maaf tanpa merendahkan profesi yang mulia itu).
Itulah kehidupan, kita senantiasa harus memelihara sikap rendah hati (tawadhu)
walaupun mungkin kesuksesan kita pantas untuk dibanggakan. Tetap menghargai
orang lain bagaimanapun kondisinya, dan mau terus belajar terhadap sesuatu yang
baru. Sehingga kita tidak disalip oleh orang yang dibawah kita. Atau kalau pun
kita tersalip, kita punya ketahanan mental yang cukup dan tidak ada perasaan
iri dan dengki di hati.