Wellcome To My Blog

HIDUP INI INDAH ANDAI KAU TAHU JALAN MANA YANG BENAR

13 November 2010

Hatiku Remuk Redam

Berbagai kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini membuat aku kalang kabut. Beban kesibukan kerja yang selama ini menemaniku tiap hari, kini harus ditambah dengan beban yang lain yang menimpa aku dan keluarga.

Bermula dari berakhirnya hubungan asmaraku dengan wanita yang selama ini aku gadang-gadangkan akan menjadi pelabuhan terakhirku. Rasa itu terlalu dalam tertanam, sampai aku tersadarkan bahwa aku mungkin tak cukup pantas untuk bersamanya, setelah smua yang aku lakukan kepadanya.

Belum lagi masalah itu reda, aku harus dihadapkan kenyataan pahit yang menimpa keluargaku. Keputusan Ibu untuk menikah lagi sontak membuatku kaget. Aku pikir, selama ini, tidak ada figur lain yang bisa menggantikan sosok Alm Apa (bapak) di hatinya. Tapi mungkin kesusahan dan kesendirian yang sudah menahun berkata lain, dan menjadi stimulus yang ampuh untuk melahirkan keputusan itu muncul.

Sebenarnya kalau hanya keputusan menikah itu sih aku bisa menerimanya, karena aku sadar sesadar-sadarnya klo ibu tidak bisa sendiri untuk melanjutkan hidup. Karena suatu saat nanti aku, anaknya ini pasti akan meningggalkannya untuk membentuk kehidupan yang baru, begitu juga dengan ade-ku, suatu saat nanti pasti dia dipinang oleh lelaki yang akan membawanya ke sebuah keluarga baru juga. Yang tertinggal hanya ibu sendiri, tentu sebagai anak pun aku tidak ingin menyaksikan ibu menua bersama kesendirian dan kesedihannya. Harus ada orang yang disampingnya, yang bisa menjaganya dan melindunginya dari segala mara bahaya.

Tak salah jika keputusan itu hadir di saat-saat sekarang, saat dimana anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Aku sebagai anak lelaki, sudah mulai bisa menapaki dan menjalani karir dalam kerjaan. Serta ade-ku yang sudah menginjak usia dewasa, sudah mengenal arti cinta, dan tak bisa dianggap belia. Maka keputusan itu aku pikir sangat rasional dan masuk akal, serta bisa diterima oleh siapapun.

Masalahnya, orang yang jadi pilihan yang ibu yang kurang sreg bagi kami. Tidak hanya buatku, sebagai anaknya, yang kelak harus memanggil bapak kepadanya. Tapi juga keluarga besar yang hampir smuanya tidak menyetujui. Bukan karena materi atau harta yang jadi ukuran, tapi ada satu hal yang tidak bisa aku ceritakan disini, yang membuat siapapun akan berat untuk menerimanya.

Aku tidak tahu, apakah kerasnya penolakanku terhadap rencananya, bisa dianggap benar. Niat aku hanya ingin mengingatkan kepada ibu, bahwa kali ini tindakannya tidak tepat. Selama ini aku diajarkan kebaikan dan kebajikan hidup oleh ibu. Nilai-nilai yang selama ini aku anut dan diamalkan pun tidak jauh dari wejangan ibu. Rasanya nasehat itu tak henti-hentinya meluncur dari mulut ibu, yang mengajari kami tentang nilai kebaikan dalam hidup.

Sekarang, ketika anakmu ini brontak, bukan berarti aku melawan dan membangkan dengan smua keputusanmu. Dan sama sekali tak ada niat sedikitpun untuk durhaka padamu. Aku hanya mengingatkan, tentang semua ajaran kebaikan yang telah ibu tanamkan, dan rasanya apa yang telah ibu putuskan, jauh dari nilai-nilai wejangan yang selama ini ibu ajarkan kepada kami.

Ibu mengajarkan kami untuk menjaga sikap, berbuat baik ke semua orang, tidak menyakiti orang dan pintar merasa, bukan merasa pintar. Sikap empati terhadap kesusahan orang, dan bersyukur terhadap smua yang sudah kita dapatkan, tanpa pernah berpikir klo rumput tetangga lebih hijau. Rasanya wejangan itu masih terngiang keras ditelinga dan telah tersimpan rapat di hati ini.

So..sekarang aku pasrah...sebagai anak, aku lakukan semampuku. Apapun keputusannya, ibu akan tetap menjadi ibuku. Wanita yang telah melahirkanku ke dunia. Wanita yang aku puja bagai dewa. Wanita yang menjadi alasanku, kenapa aku tetap smangat menjalani hidup, semenjak kepergian ayah. Aku hanya berharap, akan ada sedikit tersisa ruang dihati dan pikiranmu, sehingga ibu bisa berpikir dengan jernih bahwa keputusan itu completely wrong mam....